Kamu harus Tahu! 4 Kosakata Bahasa Jawa Yang Sering Salah Penggunaannya

“Banyak masyarakat Jawa yang sering salah dalam memakai kosakata bahasa Jawa saat berkomunikasi lalu mengakibatkan konteks percakapannya terkesan aneh dan bahkan nyleneh. Kesalahan tersebut berupa kesalahan pelafalan dan kesalahan penggunaan.”


GUDANGJOGJA.ID. Kosakata bahasa Jawa umumnya dipahami orang Jawa sejak kecil, biasanya digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari. Jika ada pernyataan yang menjelaskan bahwa orang Jawa itu terkenal kaya akan perbendaharaan kata, itu nggak salah, kok. Bahkan saking kayanya, terkadang mereka kebingungan dalam membedakan mana kosakata yang benar dan mana yang salah. 

Banyak masyarakat Jawa yang sering salah dalam memakai kosakata bahasa Jawa saat berkomunikasi lalu mengakibatkan konteks percakapannya terkesan aneh dan bahkan nyleneh. Kesalahan tersebut berupa kesalahan pelafalan dan kesalahan penggunaan. Contohnya seperti berikut ini.

#1 Nuwun atau suwun?

Dalam kosakata bahasa Jawa, jika kita ingin berterima kasih kepada orang lain, kita hanya perlu mengucapkan "nuwun", atau jika ingin lebih sopan lagi, bisa menggunakan "matur nuwun", dan jika ingin yang lebih sopan lagi bisa menggunakan "matur nembah nuwun".

Namun, banyak orang Jawa lebih familiar dengan kosakata "suwun" dan "matur suwun". Padahal, "suwun" adalah kata dasar yang kalau dalam bahasa Indonesia artinya "minta". Ini jelas nggak sesuai dengan konteks percakapan semula, yang mana kita ingin berterima kasih, jadi malah terkesan mengucapkan kata yang bermakna "minta".

Kosakata "nuwun" dan "suwun", memang hanya berbeda pada huruf awalnya saja, tapi keduanya memiliki arti yang berbeda pula. Nggak bisa dong dipakai seenaknya sendiri! Ora iso digawe sak penake udele dewe! Hehee…

Baca juga: 4 Daerah Otonomi Khusus di Indonesia, Yogyakarta Salah Satunya

Baca juga: Candi Ratu Boko: Menikmati Indahnya Sunset Diantara Situs Bersejarah

#2 Nuwun sewu atau nyuwun sewu?

Kalau kosakata ini, sih, memang sedari dulu semua masyarakat Jawa sangat notice dan familiar banget kali, ya. Kosakata ini berperan besar untuk menunjukkan etika kita kepada orang lain dan umumnya digunakan sebagai simbolisasi rasa sopan santun, misal ketika kita hendak lewat di depan orang tua.

Lalu, kalau ditanya mana yang benar: "nyuwun sewu" atau "nuwun sewu", jawabannya adalah "nuwun sewu".

"Nuwun sewu" (permisi) itu tergolong satu kesatuan frasa yang mana kedua kata di dalamnya saling melengkapi, dan jika salah satu katanya dikurangi atau diganti, dapat menimbulkan makna baru. Kalau dalam ilmu bahasa Jawa frasa ini disebut camboran.

Permasalahannya, banyak sekali masyarakat Jawa yang mengganti kata "nuwun" dengan "nyuwun" (meminta) yang pada akhirnya menjadi "nyuwun sewu" (meminta seribu). Saya khawatir saja, sih, jika ada yang mengucapkan "nyuwun sewu" kepada seseorang yang paham betul tentang bahasa Jawa, malah jadi miskom kayak gini:

A: “Pak, nyuwun sewu….” (Pak, minta seribu)
B: “Ora duwe sewu! Duweku limang ewu!” (Nggak punya seribu! Punyanya lima ribu!)

#3 Wilujeng atau sugeng?

Wilujeng dalu, Kang. Eh, maksudku sugeng dalu. Eh, rak yo podho wae, tho?

Pada kedua kosakata ini, mayoritas masyarakat Jawa menyikapinya dengan menganggap semuanya sama. Padahal, meski kedua kata tersebut sama-sama berarti "selamat", tapi secara fungsional, penggunaannya dibedakan.

Untuk "wilujeng", berfungsi sebagai adjektiva yang cocok kalau dipakai dalam model percakapan seperti:

“Alhamdulillah sampeyan teko kene kanthi wilujeng.” (Alhamdulillah anda datang ke sini dengan selamat)

Nah, kalau kata "sugeng", cocok dipakai pada kalimat ucapan selamat seperti sugeng dalu (selamat malam), sugeng mahargya ariyadi fitri (selamat merayakan idulfitri), dll.

Jadi, jangan dibolak-balik, yo Dab!

Baca juga: Piye Kabare? Isih PSIM Tho Dab?

#4 Lintu atau sanes?

Kalau dalam sastra Jawa, "lintu" adalah ragam krama dari kata "ijol" (tukar), sedangkan "sanes” adalah ragam krama dari kata "liya" (lain) dan "dudu" (bukan). 

Lalu, apa permasalahannya?

Terkadang, mayoritas masyarakat Jawa lebih memahami kata "lintu" sebagai ragam krama dari kata "liya" (lain) dan sedikit dari mereka yang menyadari kalau arti dari kata yang mereka gunakan selama ini salah. Kesalahan penggunaan seperti ini menjadikan maksud percakapan menjadi tidak sesuai konteks, misalnya:

“Nuwun sewu Pak Pulisi, kula namung gadhah arta sementen, arta kula lintuni pun taksih dipunasta ibuk kula.” (Permisi Pak Polisi, saya hanya memiliki uang segini, uang saya tukarnya masih dibawa ibu saya).

Nah..rancu kan? Maksud sebenaranya dari anak kalimat yang disisipi kata "lintu"? Kata "lintu" pada kalimat tersebut seharusnya diganti kata "sanes" supaya maksud pembicaraan dapat tersampaikan secara benar (arta kula sanesipun = uang saya lainnya).

Kemudian, untuk kata "lintu", cocok dipakai jika kalimatnya seperti ini:

“Nuwun sewu, Bu, kula badhe lintu arta.” (Permisi Bu, saya hendak tukar uang).

Nah, dari sini, dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman bahasa sangatlah wajar terjadi apabila penutur bahasa itu sendiri bersifat heterogen. Perbedaan bukan menjadi penghalang bagi kita untuk terus mempelajari bahasa daerah di tengah gempuran era globalisasi saat ini. 

***

Memang bahasa daerah bukanlah sesuatu yang berurgensi tinggi. Namun, sebagai generasi muda yang seharusnya peduli terhadap kelestarian budaya, mempelajari bahasa daerah sudah menjadi tanggungan bagi kita bersama.

Salam bahasa! Salam budaya!


Materi: https://today.line.me/id/v2/article/N0zJnM, berbagai sumber
Foto: Instagram @kratonjogja, @dhonnyalfian, berbagai sumber

Yuk dukung gerakan "Bergerak Bersama Untuk Yogyakarta". 
Setiap pembelian produk di gudangjogja.id, kamu turut membantu pengrajin lokal, pelestarian lingkungan dan peduli fakir miskin & anak yatim. Seluruh produk gudangjogja.id berasal dari pengrajin lokal, 0.5% dari pembelianmu disalurkan dalam kegiatan sosial peduli lingkungan dan 2.5% pembelianmu disalurkan kepada fakir miskin & anak yatim di lokasi DIY dan sekitarnya. 
DAPATKAN PRODUK GUDANGJOGJA.ID DISINI!!