Nyai Ahmad Dahlan, Tokoh Emansipasi Dari Yogyakarta

"Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Organisasi Muhammadiyah dimulai saat ia ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada tahun 1914, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Aisyiyah."

 

GUDANGJOGJA.ID. Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini di Indonesia, seebagai bentuk penghormatan atas kegigihannya memperjuangkan pendidikan dan keadilan bagi kaum wanita. Kegigihannya dan kecerdasan RA Kartini tertuang dalam surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya untuk memajukan kaum wanita pribumi. Semangat RA. Kartini ini yang kemudian menjadi isprirasi bagi kaum perempuan untuk lebih mandiri dan menyetarakan dengan kaum pria.

Tapi tahu nggak sih, Yogyakarta juga punya tokoh pejuang emansipasi wanita?

Yup, Beliau adalah Nyai Ahmad Dahlan. 

Terlahir dengan nama Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, 3 Januari 1872, beliau adalah tokoh emansipasi perempuan dan juga istri dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. 

Siti Walidah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Sejak kecil Siti Walidah telah mendapat pendidikan agama yang baik karena orang tuanya juga merupakan pejabat agama di Keraton Yogyakarta. Karena alasan adat yang ketat, setiap anak perempuan dalam lingkungan Keraton Yogyakarta harus tinggal (dipingit) di rumah hingga datang saatnya untuk ia menikah. Akibatnya, Siti Walidah tidak pernah mengenyam pendidikan umum kecuali pendidikan agama yang didapat dari ayahnya.

Siti Walidah selanjutnya menikah dengan sepupunya yang baru pulang dari Tanah Suci, Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Setelah pernikahan itu, Siti Walidah dikenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan. Buah pernikahannya dengan K.H. Ahmad Dahlan adalah mereka dikaruniai enam orang anak.

Sebagai suami dari seorang pemuka agama yang mempunyai pemikiran-pemikiran revolusioner, Siti Walidah dan suaminya sering mendapat kecaman dan tentangan karena pembaharuan yang dilakukanya. Namun, Siti Walidah tetap mendukung suaminya tersebut dalam berdakwah dan menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya.

Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan umum, Nyai Ahmad Dahlan  mempunyai pandangan yang luas. Hal itu disebabkan karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh pemimpin bangsa lainnya yang juga merupakan teman seperjuangan suaminya.

PENDIRI ORGANISASI AISYIYAH

Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Organisasi Muhammadiyah dimulai saat ia ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada tahun 1914, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Aisyiyah. Aisyiyah sendiri diresmikan pada tanggal 22 April 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala, lima tahun kemudian organisasi ini menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta program pendidikan Islam bagi perempuan. Beliau juga berkhotbah menentang kawin paksa yang saat itu masih menjadi budaya. Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa pada umumnya, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat kalau perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami. Semangat ini pula yang mendasari perjuangan Beliau.

Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat, yaitu pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.

Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Bahkan pada tahun 1926, Beliau memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya dan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi seperti itu. Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran waktu itu, banyak perempuan akhirnya terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah, menjadikan Aisyiyah membuka cabang di pulau-pulau lain di Nusantara. Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934. Selama masa pendudukan Jepang Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura.

Pada 10 September 1943, ia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang. Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, ia memasak sup dari rumahnya bagi para tentara dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya. Dia juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno. Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta

PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA

Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Suharto, mengikuti  KH. Ahmad Dahlan yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sepuluh tahun sebelumnya. Beliau telah disebandingkan dengan pembela hak perempuan lainnya seperti Kartini, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.

Baca juga: Duta "Sheila on 7", Bermusik Adalah Pilihan Hidup

Materi: www.merdeka.com, www. id.wikipedia.org, berbagai sumber
Foto: berbagai sumber