Angkringan Jogja: Sejarah dan Filosofi

“Angkringan sudah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Yogyakarta. Kesederhanaan dan kehangatannya tidak bisa digantikan dengan kedai makanan jenis lainnya. Angkringan inilah yang selalu membawa karakteristik Yogyakarta, makan bersama sambil ngobrol ngalor ngidul tanpa ada batas strata sosial.”

 

GUDANGJOGJA.ID. Angkringan memang identik dengan kota Jogja. Kamu bisa dengan mudah menemukan angkringan di berbagai sudut Jogja, yang menjual makanan khas seperti nasi kucing, aneka gorengan hingga kopi jos. Pastinya murah meriah dan aman dikantong! Tapi tau nggak sih sebenarnya angkringan bukan asli dari Jogja?
Yuk, disimak selengkapnya!

ASAL KATA

Angkringan (berasal dari bahasa Jawa “angkring” yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas) adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman di pinggir jalan. Ini merujuk pada model angkringan jaman dulu dengan cara dipikul. Sedangkan angkringan jaman sekarang lebih dikenal menggunakan gerobak dorongan. 

Dalam versi lain, kata Angkringan ini juga berasal dari kata "angkring" yang berarti metangkling. Kata metangkling ini merujuk pada posisi duduk santai dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Kebanyakan orang duduk metangkling saat menikmati sajian yang ada di warung angkringan.

Terlepas dari adanya berbagai versi, pada dasarnya angkringan adalah semacam warung makan dengan menggunakan gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik, menjual aneka makanan (mulai dari nasi bungkus/nasi kucing hingga aneka gorengan) dan minuman, biasanya beroperasi mulai sore hingga dini hari dengan penerangan lampu bohlam kuning. 

Baca juga: Fakta Menarik Tugu Yogyakarta, Asal Usul Hingga Filosofi

Sebenarnya angkringan tidak hanya terkenal di Jogja namun juga di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Solo dan Klaten. Warga Solo/Klaten biasa menyebut angkringan dengan istilah “wedangan” atau HIK (Hidangan Istimewa kampung). 

SEJARAH

Angkringan lahir dari inovasi Eyang Karso Dikromo, yang masa mudanya akrab dipanggil Jukut. Mbah Karso yang berasal dari Desa Ngerangan, Klaten, Jawa Tengah tahun 1930-an merantau ke Solo saat umur sekitar 15 tahun. Sesampainya di Solo ia bertemu dengan Mbah Wono, pertemuan dengan Mbah Wono merupakan awal dari sejarah angkringan.

Bekerja dengan Mbah Wono sebagai penggembala kerbau dan membantu membajak, Mbah Karso juga berkenalan dengan pejualan makanan terikan (makanan dari Jawa Tengah dengan kuah kental dengan lauk tempe atau daging). Di waktu yang bersamaan dirinya bekerja dengan Mbah Wono, Mbah Karso juga ditawari ikut berjualan terikan. Bermodalkan pikulan tumbu (alat untuk berjualan makanan) Mbah Karso mulai bisnis makanan, yang kemudian dikenal dengan angkringan atau warung hik. Kepopuleran angkringan/warung hik di Solo ini akhirnya merambah ke Yogyakarta pada 1950-an.

SEGO KUCING SEBAGAI MENU ANDALAN

Sego kucing menjadi menu khas angkringan. “Sego kucing" berarti "nasi untuk kucing" (sego dalam Bahasa jawa berarti nasi), karena porsinya yang kecil. Kata tersebut berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang memelihara kucing dan memberikan makanan untuk peliharaannya dengan porsi kecil.

Sego kucing berupa porsi kecil nasi dengan sambal yang dicampur tempe, teri atau telur dadar yang dipotong kecil-kecil, dibungkus dengan daun pisang. Biasanya 1 porsi dijual seribu hingga empat ribu rupiah. Makanan ini sangat digemari oleh berbagai kalangan terutama kalangan muda seperti mahasiswa. 

FILOSOFI ANGKRINGAN

Angkringan ternyata juga memiliki filosofi yang mendalam terutama bagi masyarakat Jawa. Orang Jawa menganggap angkringan bukan hanya sebagai tempat mengisi perut dengan kisaran harga yang relatif murah. Angkringan dianggap sebagai tempat sosialisasi antar warga. Apalagi dengan harga makanan di tempat ini memang murah sehingga tempat ini menjadi suatu sarana berkumpulnya masyarakat antar kelas sosial.

Dengan suasana yang menyajikan kehangatan dan kesederhanaan di setiap kedai angkringan, menjadi tempat bagi masyarakat untuk membaur satu dengan yang lainnya tanpa memandang status social, kembali pada kodrat manusia yang memiliki derajat yang sama. Bahkan seringkali penjualnya ikut terhanyut dalam obrolan dengan para pelanggannya. Hal seperti inilah yang menjadikan pelanggan tiap-tiap kedai angkringan punya alasan untuk kembali.

*****

Saat ini memang banyak pengusaha-pengusaha muda di Jogja yang membuka banyak cafe dengan fasilitas yang sangat baik, ruangan yang nyaman lengkap dengan pendingin udara dan akses WiFi. Namun hal tersebut rasanya memang bukan menjadi tantangan bagi keberadaan angkringan. Angkringan sudah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Jogja. Kesederhanaan dan kehangatannya tidak bisa digantikan dengan kedai makanan jenis lainnya. Angkringan inilah yang selalu membawa karakteristik Jogja, makan bersama sambil ngobrol ngalor ngidul tanpa ada batas strata sosial.

Ah..memang angkringan Jogja itu ngangeni!

Baca juga: Pantai Parangtritis, Sunset Yang Romantis
Baca juga: Pantai Parangkusumo, Mistis Namun Indah

Materi: berbagai sumber
Foto: @asmasyarief, @ikhsan.aoi, @okta.prayudi.nugroho, @angkringan.lovers